Beberapa Faktor Penyebab RendahDiri (Low Self Esteem) Pada Anak

Sahabat Fokus Kita, kali ini kita akan membahas tentang self esteem. Apa itu self esteem ?

Self Esteem mencerminkan evaluasi emosional seseorang secara keseluruhan tentang layak nya diri sendiri. Jadi self esteem adalah penilaian dari diri sendiri serta sikap terhadap diri.

Self Esteem pada  anak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
• Penyebab Sosial:
• Kondisi di Rumah
• Kesulitan belajar

Penyebab Sosial: 
Ada banyak sebab-sebab sosial yang mengakibatkan rendah diri pada anak-anak. Pelecehan rasial dan ejekan anak-anak lain juga merupakan salah satu alasan utama. Banyak anak lain yang menggoda untuk penampilan seorang, kinerja mereka di kelas, dan bahkan untuk ketidakmampuan mereka untuk melakukan sesuatu. Ejekan dan pelecehan sangat mempengaruhi harga diri seorang anak. Bahkan kadang-kadang, guru juga memainkan peranan penting dan merendahkan anak. Untuk anak-anak, kata-kata guru adalah kata-kata terakhir. Jadi penggunaan kata kata yang tidak tepat oleh seorang guru terhadap anak didik akan mampu merusak kehidupan seorang anak. Anak anak kadang merasa bahwa mereka tidak mampu berhasil berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan mereka. Perasaan ini sangat mungkin dihasilkan oleh kombinasi bebagai faktor. Seperti orang-orang muda biasanya menganggap dirinya sebagai "malu" dan berdiam diri dalam kebanyakan situasi sosial. 

Kondisi di Rumah. 
Orangtua tidak bisa memberikan anak self esteem (harga diri), juga tidak bisa memberikan anak mereka kebahagiaan. Semua yang orangtua dapat lakukan adalah memberikan suasana rumah yang kondusif bagi perkembangan harga diri anak dan memberikan alat yang ia dapat membantu kebahagiaan itu sendiri. Bagaimana orang tua dapat menciptakan suasana seperti itu? Psikolog berpendapat bahwa self-esteem itu menular. Oleh orangtua memancarkan rasa percaya diri sendiri, anak cenderung untuk "menangkapnya" dari mereka. Orangtua yang tidak aman dan cemas cenderung untuk menyampaikan sikap bahwa anak-anak mereka. Dengan demikian, kurangnya rasa percaya diri dapat ditularkan kepada generasi berikutnya. Salah satu orangtua berkata kepada anaknya dalam sebuah sesi konseling keluarga, "Aku tidak sengaja menahan pujian dan dorongan dari Anda. Aku tidak pernah mendapat pujian atau cinta tanpa syarat dari orang tua saya jadi saya hanya tidak dapat memberikan harga diri kepada Anda." Rendah diri pada anak-anak sering kali karena ketidakharmonisan dan pelecehan anak di rumah.

Pertengkaran orang tua, dan orang tua yang pemarah dan kasar, serta omelan orang tua terus-menerus menambah penderitaan anak-anak. Umumnya orang tua, menuntut harapan lebih dari dari kemampuan anak, dan ketika anak gagal untuk mencapai apa yang orang tuanya inginkan ia pun menganggap dirinya gagal. Ini lah yang menyebabkan perjalanan menuju ke rendah diri. Saudara kandung juga bisa menjadi masalah yang berpengaruh. Tidak ada dua anak yang sama dan membandingkan mereka adalah suatu hal yang membawa efek negatif. Orangtua lupa bahwa setiap anak adalah unik dalam dirinya sendiri dan tidak dapat dipaksa untuk menjadi orang lain. Perbandingan antara saudara kandung akan membunuh moral anak, mendorongnya ke perasaan yang tidak diinginkan dan tidak dicintai. Saudara kandung dapat menjadi masalah dengan bila menjadi cerewet dan dominan kepada yang lebih muda.

Kesulitan belajar: 
Anak-anak dengan ketidakmampuan belajar (Learning Dissabilites) sering mengalami masalah yang jauh melampaui yang dialami dalam membaca, menulis, matematika, memori, atau organisasi. Bagi banyak orang, perasaan kuat frustrasi, kemarahan, kesedihan, atau rasa malu dapat menyebabkan kesulitan psikologis seperti rasa cemas, depresi, Atau rendah diri (self esteem), serta masalah tingkah laku seperti penyalahgunaan obat, atau kenakalan remaja. Tetapi masalah-masalah ini dapat jauh lebih parah daripada tantangan akademik sendiri. Walaupun keparahan dan lama kesulitan psikologis dapat bervariasi karena ia tumbuh dewasa, isu-isu tersebut dapat berlanjut sampai dewasa.   

Kesulitan belajar seringkali tidak terdeteksi sejak dini dan bisa menjadi masalah besar bagi anak. Bayangkan seorang anak dengan disleksia, Ia pasti akan tertinggal di belakang ketika sampai pada usia belajar yang berhubungan dengan target. Kadang kadang orang tua menciptakan malapetaka dalam kehidupan anak, karena tidak tahu bahwa anaknya sebenarnya menderita cacat dan tidak bisa benar-benar belajar seperti yang lain. Sebuah solusi untuk menghindari skenario ini adalah membaca semua buku-buku pengasuhan bahkan sebelum bayi Anda lahir. Intinya adalah bahwa orang tua harus menyadari masalah-masalah dan cacat yang mungkin di derita anak.  Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki ketidakmampuan belajar beresiko rendah diri daripada rekan-rekan mereka. Sejak usia dini, anak-anak membandingkan diri dengan orang lain di bidang-bidang seperti akademisi, kemampuan untuk membuat dan menjaga teman-teman, dan kecakapan lain.

Anak-anak yang didiagnosis memiliki kesulitan dalam belajar memiliki kemungkinan mengalami kesulitan di sekolah selama bertahun-tahun sebelum diagnosis secara aktual. Karena diagnosis kesulitan belajar sering didasarkan pada ketidaksesuaian antara kompetensi akademis anak dan mereka diukur dari nilai IQ, sehingga lebih sulit untuk mendiagnosis anak sebelum 1 atau 2. Kemudian, anak-anak berkesulitan belajar mungkin telah mengalami bertahun-tahun membandingkan diri mereka yang negatif dengan rekan-rekan mereka dan mengembangkan penurunkan harga diri sebelum hal tersebut didiagnosis.

Mengatasi Rasa Malu Pada Anak - Aplikasi Teori Belajar dan Tingkah Laku

Malu merupakan pola tingkah laku yang dilatar belakangi oleh faktor faktor psikologis anak.  Berikut ini adalah pembahasan mengenai beberapa teori belajar dan tingkah laku yang mungkin dapat membantu anak usia dini mengatasi rasa malu di kelas.

1.      Teori The Law of Effect (El Thorndike)
Thorndike melihat bahwa ada persamaan antara manusia dan hewan, walaupun pada manusia kemampuannya lebih tinggi.  Thorndike menyimpulkan bahwa ada hubungan stimuli dan respond an penyelesaian masalah yang dilakukan dengan trial dan error.  “Reward” atau hadiah merupakan faktor penting dalam belajar.  Reward menyatakan kepuasan dari suatu kejadian. Sedangkan hukuman hanya akan mempelemah ikatan dan tidak akan mempunyai efek.
Pemakaian ”reward” untuk anak pemalu diperkirakan sangat berpengaruh, karena reward merupakan bentuk kepuasan.  Reward diperkirakan meningkatkan keberanian anak dan mengurangi rasa malu dalam melakukan sesuatu. 
Sebagai contoh: Seorang guru dapat memberikan reward berupa tanda bintang atau pujian verbal untuk anak pemalu yang berani tampil di kelas.

2.      Operant Conditioning (B.F Skinner)
Seperti Thorndike, Skinner memandang hadiah (reward) atau (reinforcement) sebagai unsure yang paling penting dalam proses belajar.  Anak anak cendrung mau belajar untuk suatu respon jika diikuti dengan penguatan (reinforcement).  Skinner memusatkan hubungan tingkah laku dan konsekuen .  Jika tingkah laku anak diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan, individu akan berusaha menggunakan tingkah laku itu sesering mungkin.  Menggunakan konsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku disebut dengan istilah “operant conditioning”.  Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku sedangkan yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku.
Untuk mengatasi rasa malu pada anak diberi konsekuensi yang mnyenangkan.  Pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan hanya akan menambah rasa malu pada anak.

Implikasi Teori Perkembangan Erikson Terhadap Praktek Pengasuhan Anak

Implikasi Teori Perkembangan  Erikson Terhadap Praktek Pengasuhan Anak


Halo pembaca Fokuskita, kali ini saya akan membahas tentang teori dari Erikson.  Mungkin anda pernah mendengar tentang teori ini, dan berpikir bagaimana implikasi teori perkembangan Erikson.  Ini menarik sekali untuk kita cermati...!  Teori perkembangan Erik Erikson terdiri dari 8 tahap.  Kita akan membahas 4 tahapan dimulai dari awal. 

Tahapan yang pertama adalah trust versus mistrust - percaya versus tidak percaya.  Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Rasa trust dapat diberikan dengan  responsive dan konsisten terhadap kebutuhan bayi.  Rasa "trust" yang menimbulkan rasa aman.  Hal ini tentu tidak jauh dari kebutuhan bayi, makan, minum, kenyamanan, kesehatan.  Jadi bayi yang menangis berarti bayi yang sedang membutuhkan sesuatu, karena tangisan adalah bahasa bayi.  Pengasuhan dengan memenuhi kebutuhannya serta kasih sayang dan respon yang konsisten.  Sebaliknya pengasuhan yang tidak didasari kasih sayang dan tidak memberikan rasa aman pada bayi akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi, anak mungkin bingung dengan orang-orang disekitarnya karena tidak mampu memberikan rasa aman pada dirinya.  Dominasi mistrust pada tahapan ini akan membuat anak mengembangkan persepsi bahwa dunia tidak bersahabat, dan hal ini kelak dapat membuat anak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial. Kesuksesan pada suatu tahapan akan mempengaruhi perkembangan tahap berikutnya.  

       Pada tahap autonomy versus shame, terjadi perkembangan kemandirian untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan rasa malu dan ragu.  Untuk itu anak harus dilatih dengan hati-hati supaya untuk bisa mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri.  Dalam hal ini orang tua atau pendidik sebaiknya tidak mudah menyalahkan anak atas suatu perilakunya karena hal itu akan menyebabkan rasa malu dan tidak percaya pada diri sendiri.  Rasa malu dan tidak percaya diri pada tahapan ini akan sangat berpengaruh pada tahap perkembangan selanjutnya. Anak mempunyai impuls dan insting yang bertujuan untuk memuaskan dirinya, namun disisi lain ada norma yang harus diajarkan.  Norma ini harus diajarkan secara benar dan bijak.  Seandainya anak belum dapat mengikuti norma tersebut lingkungan harus bijak menyikapinya sehingga anak tidak merasa mengembangkan rasa malu yang akan mengganggunya pada tahapan perkembangan selanjutnya.  Toilet training” merupakan isu penting dalam tahapan ini. Keberhasilan pada tahap ini akan mempengaruhi kemandirian anak pada tahap berikutnya.

     Pada tahap selanjutnya yaitu tahap initiative versus guilty anak mengembangkan inisiatif dengan mencoba kegiatan-kegiatan baru.  Pada tahap ini anak mengembangkan keberanian untuk mencapai sesuatu.  Pada tahapan ini sebaiknya lingkungan mendukung anak untuk mencoba hal-hal yang baru.  Anak jangan dilarang untuk mencoba sesuatu sepanjang hal tersebut tidak membahayakan dirinya. Jika ada hal-hal yang menjadi penghalang bagi anak, sebaiknya orang tua atau pendamping anak dapat membantu anak dalam melakukan inisiatif tersebut. Anak yang tidak diberi kesempatan untuk mencoba sesuatu maka nantinya mungkin akan mengembangkan kebiasaannya untuk tidak mencoba.  Sebaiknya anak diberi pujian atas usahanya mencoba sesuatu, sehingga dapat menumbuhkan motivasi dalam diri anak.




     
Ditulis untuk tugas kuliah beberapa waktu yang lalu.

  

Dalam tahapan selanjutnya yaitu industry vs inferiority.  Pada tahap ini dimulai situasi yang produktif untuk penyelesaian suatu tujuan yang secara bertahap menggantikan keinginan bermain.  Anak mulai melihat adanya kaitan antara ketekunan dengan perasaan senang apabila suatu tugas dapat diselesaikan dengan baik anak belajar keterampilan untuk menghadapi rasa tidak mampu. Anak terus dilatih mengembangkan keterampilannya tertentu sehingga dia memandang dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kompetensi tertentu.  Sebaiknya keterampilan yang diberikan merupakan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat atau lingkungannya, sehingga anak merasakan manfaatnya. Untuk menjaga anak supaya tidak mengalami perasaan rendah diri, sebaiknya orang tua guru memulai tugas yang diberikan berangkat dari yang pendek.  Apabila anak dapat menyelesaikan, maka anak bisa diberi tugas yang lebih panjang.  Anak juga bisa dilatih untuk membuat jurnal kemajuan secara sederhana, sehingga anak dapat melihat kemajuannya sendiri secara rutin dan menjadikannya sebagai pribadi yang percaya diri.
     Teori Erikson memperlihatkan bahwa suatu tahapan perkembangan akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya.  Seseorang yang tidak dapat melewati suatu tahap dengan baik akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya.  Hal ini seolah olah mengimplikasikan bahwa kesalahan yang terjadi pada suatu tahapan mungkin tidak bisa dikoreksi pada tahapan berikutnya.  Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam kehidupan manusia tidak ada kesempatan belajar untuk yang kedua kali?. Pertanyaan ini sangat menarik untuk dipikirkan lagi, terutama karena pada hakikatnya manusia itu belajar sepanjang hayat.  Manusia pada umumnya selalu mempunyai keinginan menjadi yang terbaik.  Pada tahapan dewasa dengan konsep berpikir yang semakin matang manusia dengan tingkat kesadaran tentang dirinya yang lebih tinggi, manusia mampu melihat kebelakang untuk berusaha mengoreksi kesalahan masa lalu menjadi manusia yang lebih baik dimasa depan.
Jika kita cermati teori perkembangan Erikson tahap demi tahap, kita akan menyadari betapa pentingnya memperhatikan dan menyikapi setiap kebutuhan anak.  Banyak diantara kita masih sangat awam dengan tahap tahap perkembangan anak, begitu juga bagaimana menyikapi setiap tahapan.  Di zaman modern ini dimana generasi muda yang terdidik secara akademis sudah semakin meningkat. Namun menjadi pertanyaan apakah generasi muda dibekali dengan ilmu pendidikan dan perkembangan anak ?.  Mereka adalah calon calon orang tua.  Menurut pemikiran saya alangkah baiknya jika generasi muda dibekali ilmu pendidikan untuk anak.  Karena pendidikan yang utama berawal dari rumah.