Oleh: Rizki Dwi Utami
(Bagian 1)
(Bagian 1)
Gulita mengantarkanku
dan teman-teman sejawatku bermain di kebunsekolah. Kami ingin bermain bola
kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami
bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami
akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporterkami.
Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang
dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya.
Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi
pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu
adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada
huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku
langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus
SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau aku
mencetak gol? Ya, berawal dari penjaga gawangnya, sebelum pencetak gol bersorak
selebrasi, dia terlebih dahulu bersorak. Semua berjalan mengalir begitu saja
dengan kekuatan pendengaran kami.
“Andi!” seruan pak
guru memecahkan lamunanku.
“Iya, Pak Hasan?” aku
segera menghapiri suaranya.
“Ini bapak membawa
teman baru untuk kamu dan teman-temanmu. Namanya, Mata Nurulinsyah. Kamu antar
ke teman-teman kamu, ya. Kalian harus berteman baik. Nanti dia akan menjadi teman
baik kalian untuk persiapan pertandingan futsal selanjutnya,” jelas pak Hasan.
Sebuah telapak tangan baru menggenggam tanganku untuk bersalaman.
“Hai, salam kenal,
ya,” katanya sangat ramah.
Aku menggandengnya ke
arah suara teman-temanku. Kubuka omongan kepadanya, “Kakak saudaranya Pak
Hasan?”
“Iya, keponakan. Aku
juga seumuran sama kamu, kok. Aku sudah biasa diajak Pak Hasan untuk menjadi
pendampingnya di pertandingan-pertandingan futsal yang besar. Aku biasa duduk
di sampingnya untuk memberi tahu jika ada yang bermain curang,” ceritanya
sambil berjalan denganku.
“Waaah, bagaimana
bisa?”
“Kamu baru tahu, ya?
Orang sepertiku memang jarang-jarang ada di dunia ini. Aku bisa melihat dunia
ini dengan berbagai hal yang aneh. Ohya, aku juga pernah melihatmu dengan
diam-diam menaruh surat cinta di kolong meja perempuan. Waktu itu aku sedang
ikut Pak Hasan berkeliling sekolahmu hehe. Benar, kan, itu surat cinta?”
Orang ini aneh,
pikirku. Aku melepaskan gandenganku dari lengannya. Aku tak bergidik, merasa
seram.
“Hei, maaf, ya, bukan
maksudku untuk membuatmu malu. Andi, teman-temanmu ada di sebelah kanan kita.
Kamu jangan ke kiri!” serunya.
“Iya... aku tahu. Aku
bisa mendengar gerak-gerik mereka, kok!”
“Kok kamu terlihat
kesal, sih?” tanyanya
“Kamu tuh yang
ngeselin! Aneh! Bagaimana kamu bisa melihat itu? Kan kita semua cuma bisa
melihat hitam. Ya, kata guru-guru, orang tua, dan teman-teman, yang kita lihat
ini hitam. Fungsi mata kita hanya untuk melihat hitam. Kita tahu semua
informasi di dunia ini ya hanya dengan suara. Kamu jangan cerita yang
aneh-aneh, deh. Kamu gak normal!” ups, barusan aku melempar kata-kata kasar
padanya. Astaghfirullah.
Aku tak mendengarnya
berbicara lagi. Mungkin dia tersinggung. Duh, maafkan aku. Dalam hitungan
sepuluh, tiba-tiba dia kembali cerewet, kali ini bukan padaku cerewetnya, “Pak
Hasaaan, jadi dari tadi nguping, ya? Jangan nguping doong! Ini urusan anak
muda!” seketika Pak Hasan menggelak tawa.
Beuh, jangan-jangan
rahasiaku memberi surat cinta ke Wirda ketahuan beliau. Malu. Aku langsung saja
berjalan ke arah suara teman-temanku. Mereka sedang asik ngobrol tentang
primadona kelas rupanya. ‘Yeuh, lu pada ngomong ape, Ntong? Wirda cuma buat gue
ajaaa!!!’ teriak hatiku. Untung mereka tidak mendengar cerita dari Mata tadi
tentang surat cinta itu. Hufh. Hei, mereka ini lebih dari teman-teman
seperjuanganku di SMA, loh. Kali pertama kenal di lomba debat saat SMP,
ternyata masuk ke SMA unggulan yang sama juga. Mereka ini teman makan, teman
curhat, teman lomba, teman belajar, juga teman saingan merebut primadona kelas,
pasti aku yang menang karena akulah leader mereka haha.
Sombongnya diri ini.
“Bro, ada yang mau
kenalan, tuh, di sana. Namanya Mata Nurulinsyah,” kataku memotong obrolan
mereka.
“Wah, namanya bagus.
Mata yang bercahaya, artinya,” jawab Rudi. Apa orang tuanya menamakan itu
karena dia bisa melihat selain hitam? Bisa jadi.
Aku segera
memanggil Mata, ternyata dia masih menaggapiku dengan ramah. Dia sama sekali
tidak merasa sakit hati dengan perkataan buruk dariku. Kepribadian yang baik,
patut jadi teladan. Hanya saja, dia cerewet.
“Hai, semuaa. Salam
kenal, ya. Aku Mata,” katanya riang, “Ih kamu ngapain gigitin rumput? Haha,”
katanya spontan kepada temanku yang memang senang banget gigitin rumput, hufh,
“Hei, kalian kok cuma bertiga sih? Katanya mau latihan main futsal? Eh tapi
gapapa deh, kita kan hari ini cuma mau main dan kenalan aja kan, ya. Ohya,
Andi, kamu suka es gak? Itu ada tukang es podeng di sana, beli gih, pakai
uangku gapapa. Es podeng itu enak tau, selain kelihatannya menarik karena
warna-warni, aku suka,” kan, dia banyak bicara, padahal tidak ada yang bertanya
tentang ini-itu.
“Salam kenal, Mata.
He,” sambut Rudi, terdengar risih menjawabnya.
“Salam kenal juga, ya.
Namaku Roni,” temanku—yang hobi gigitin ujung rumput—ikut menjawab.
Mata memberiku uang.
Kuraba. Ini berjumlah Rp100.000. Wow, tajir juga dia.
“Beli lima gelas, ya,”
katanya. Ingin kuberkata, ‘Kenapa gak kamu aja yang beli ke sana? Gak sopan
nyuruh-nyuruh!’ tapi dia sudah baik mau belikan cuma-cuma huhu. Kuturunkan,
deh, emosiku.
Aku menghampiri tukang
es podeng yang mengentung-ngentungi gong kecil. Sesuai pesanannya, aku membeli
lima gelas. Sambil terus membatin, seperti apa dia sebenarnya. Mata
Nurulinsyah? Mata yang bercahaya? Aku mengerti cahaya itu yang sering menerangi
mata ini. Kadang aku melihat gelap yang sangat pekat ketika malam, dan
warna-warna lain ketika menghadap matahari. Ini yang disebut cahaya. Ya...tapi
teman-temanku yang lain ada yang mengatakan, sama sekali tidak mengerti apa itu
cahaya. Namun, dalam pelajaran di kelas, kami sepakat bahwa cahaya adalah
seuatu yang terang. Dalam kecepatan, cahaya juga kecepatan yang sangat cepat
dibanding kecepatan-kecepatan lainnya. Hmm, apa benar itu makna namanya Mata
Nurulinsyah? Tersebab ia berbeda dengan kebanyakan manusia? Iya, berbeda.
Fungsi matanya tidak hanya bisa melihat gelap saja. Ia bisa tahu dengan benar
aku mengendap-endap menaruh surat cinta di kolong meja Wirda. Bagaimana bisa?
Dia, kan, gak menabrakku waktu itu. Dia juga bisa tahu ada es podeng di sini
padahal tadi pedagangnya belum memukul gong kecil ini. Ih, dia itu kenapa, sih?
Benar-benar gak normal. Baru kutemui orang seperti dia.
Bersambung : Bagian 2
0 comments:
Post a Comment