By : Rizki Dwi Utami
Lalu sebenarnya di
dunia ini ada apa? Seramnyaaa kalau dia bisa melihat segalanya. Kalau aku jadi
dia, sepertinya aku akan mudah menyontek saat ujian sekolah. Eh, niat buruk
hehe. Gak, gak. Kalau aku jadi dia, aku pasti bisa lebih mudah lagi bersaing
dengan teman-teman untuk mendapatkan cinta Wirda. Ohya, aku juga bisa tahu
seperti apa Wirda itu. Hmm, perspektif cantik menurut Mata itu seperti apa, ya?
Menurutku, kan, karena suara Wirda itu merdu. Aku juga pernah tak sengaja
menyentuh punggung telapak tangannya saat ingin menyentuh mejanya. Halus
seperti kulit bayi hehe. Iya, iya, bukan mahram, kan gak sengaja.
Hmm, kalau aku seperti
Mata, mungkin aku bisa tahu segalanya tentang Wirda tanpa harus mendekatinya
dahulu. Aku bisa tahu sebenarnya Wirda suka sama siapa tanpa harus mendengar
ceritanya terlebih dahulu. Ya, meskipun kurang tepat, tapi setidaknya aku bisa
tahu gerak-geriknya suka sama siapa. Ett, tapi bisa jadi dengan begitu aku jadi
usil ke cowok yang disukai Wirda (kalau ternyata bukan aku yang dia suka).
Lebih baik tidak tahu, daripada menambah dosa. Pun sakit hati kalau tahu cinta
bertepuk sebelah tangan dengan mudahnya. Hufh, iya, kuakui aku lelaki cengeng,
mudah luluh dan labil. Tak suka padaku? Tak perlu jadi temanku.
Es podeng sudah di
kantung. Aku membawanya dengan kerepotan, jariku penuh membawa es-es ini. Kalau
tidak gratis, aku malas membawanya. Aku mendekati posisi tadi, mereka masih
asik ngobrol, rupanya. Mata sudah cerita apa saja, ya? Hmm, baiklah, sejujurnya
aku penasaran dengan dirinya, meskipun aku gengsi mengakuinya. Bisa-bisanya dia
memasuki dunia teman-temanku, padahal hanya aku yang selalu menjadi leader. Oke,
aku harus merendahkan hati lagi, tidak boleh sombong. Kuakui ketidaknormalan
dia membawa suatu hal baru untuk kami.
“Es podeng sudah
datang!” seruku
“Wooooow. Azeeeek!”
seru semua, tak terkecuali Pak Hasan.
Ini memang hari libur
yang menyenangkan. Kami terbiasa menghabiskan minggu pagi dengan berolahraga di
lapangan dekat sekolah bersama pelatih futsal kesayangan kami ini, Pak Hasan.
Ia menerima es podeng beserta meminta kembaliannya, lalu suara resleting tasnya
menandakan ia menaruh uang itu ke dalam tasnya. Halah, kukira itu uang Mata,
ternyata uang pamannya. Pantas saja uangnya banyak hehe.
“Sini, Andi duduk,”
Mata menepuk-nepuk tanah, tanda mempersilakanku duduk.
“Kamu banyak ketinggalan,
Ndi! Dari tadi kita ngobrol seru banget, loh! Mata orangnya unik, ya. Awalnya
kita gak percaya, tapi ternyata bener, loh. Aku tadi angkat dua jari, lalu dia
bisa menebaknya tanpa meraba jariku. Kuangkat tiga jari pun dia bisa menebaknya
lagi. Aku heran,” jelas Roni. Aku makin bingung dibuatnya.
Apa benar? Ah, mungkin
dia hanya seperti pendekar dari gua hantu mungkin, ya? Yang kepekaan telinganya
sangat peka. Tapi mengapa dia mengakunya tahu semua itu dari fungsi matanya?
Ih, gak normal!
“Hehe, iya, Ndi. Maaf,
ya, semua, kalau aku membuat kalian bingung. Orang sepertiku memang jarang
ditemukan. Keseharianku bermain, ya, bersama orang-orang seperti kalian juga.
Terkadang aku merasa sendirian karena berbeda sendiri. Aku melihat hal-hal
aneh, tetapi tidak ada yang percaya denganku, termasuk mamaku sendiri. Ia
menaggapku aneh, mama masih belum terima memiliki anak sepertiku. Kalau bapakku
pasrah dan diam, meskipun sepertinya beliau juga merasa aneh denganku. Cuma Pak
Hasan aja yang mau support tumbuh kembangku dan megarahkanku
untuk mengoptimalkan hal-hal yang kubisa dengan baik dan untuk
kegiatan-kegiatan yang baik.
Hidup ini
berwarna-warni, teman. Seperti es podeng ini. Teman-teman komunitasku yang bisa
melihat juga, menyebutnya berwarna-warni. Ada warna merah, hijau, hitam, putih.
Aku melihat warna-warna itu di dalam gelas ini. Seperti hidup ini, selalu ada
masalah ataupun kejutan bahagia. Semua ada porsinya sehingga rasanya enak.
Hidup ini enak kalau kita menikmatinya dengan porsi yang cukup. Meskipun banyak
yang mem-bully, banyak yang menjauhi, tapi ternyata di tempat lain ada
juga yang kagum, ada yang menemani, ada yang mau saling membantu. Indah, bukan,
jika kita mau mensyukuri semuanya?” jelasnya runut, membuatku terperangah.
Aku langsung
menyambar, “Ya ampun, maaf ya, Ta. Tadi aku bilang kamu gak normal. Karena yang
kami tau, memang normalnya kita hanya bisa melihat gelap terang aja. Maaf
banget, ya, kalau itu membuat kamu sakit hati. Gak ada maksud...”
“Sst, sudah, tidak
apa. Aku sudah biasa, kok, hehe. Pernah dibilang orang gila juga, kok, karena
sering cerita hal-hal yang membuat orang sekitar kebingungan. Jadi aku sudah
memaafkan kamu sebelum kamu memintanya, kok. Berarti, aku diterima, nih, jadi
teman kalian?” tanyanya.
Aku dan teman-teman
langsung memeluknya haru. Siapa yang tidak mau berteman dengan orang berhati
berlian sepertinya? Pak Hasan yang hanya diam sedari tadi pun ikut
menepuk-nepuk pundak Mata. Ya, hidup ini beragam rasanya. Berwarna-warni kalau
katamu. Semoga dengan berwarninya hidup ini membuat kita semakin lapang lagi
menerima berbagai hikmah yang ada. Tak ada yang sia-sia dari segalanya,
termasuk hal terburuk dalam hidup sekalipun.
Mata Nurulinsyah
memang bukanlah orang kebanyakan yang ada di dunia ini, sehingga disebut tidak
normal. Namun, bukan berarti itu menjadi cemoohan yang harus dilontarkan
padanya. Kita harus bisa saling menerima keunikan masing-masing. Ia dengan
warna-warni, dan manusia kebanyakan—termasuk aku—dengan gulita.
(Sebuah cerpen dengan pemutarbalikkan realita)
0 comments:
Post a Comment